Oleh: halaqohdakwah | Januari 7, 2011

Layakkah Kita Dicintai?

Marilah kita bertanya pada diri sendiri pada hari ini, sejenak saja, tentang sebuah lambang keberartian dan makna hidup yang sangat mendalam: kelayakan untuk dicintai. Maka, layakkah kita untuk dicintai?

Layak dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tidak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya yang tidak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak untuk dicintai. Hidup tidak akan memberikan ruang untuk orang-orang yang kikir, yang hanya bisa merusak dan tidak pernah bisa membangun. Yang hanya pandai mengkhianati, menyakiti dan tak pernah berdaya untuk merajut kembali. Yang hatinya beku dan tak pernah mengilhami. Hanya bila kita berarti, maka kita layak untuk dicintai.

Kelayakan untuk dicintai adalah definisi dari sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur dari sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti. Bukan status, apalagi hanya sekedar hiasan performa dan pulasan kepalsuan. Nilai umum dari orang yang layak untuk dicintai, adalah kemanfaatan dirinya bagi kehidupan, bagi sesama, dan bagi keberlangsungan hidup diri dan orang lain.

Ini tidak saja merupakan pesan bagi orang-orang yang sedang memburu cinta. Tapi juga untuk siapa saja yang ingin mendapatkan kelayakan untuk dicintai. Layakkah anda untuk dicintai adalah pesan sosial yang menegaskan bahwa keberadaan kita di kehidupan ini, di rumah, di tempat bekerja, di masyarakat, di tempat belajar, dimanapun saja, harusnya mencerminkan kehidupan yang menjawab pertanyaan tersebut. Siapa saja yang tidak berguna, tidak memberikan manfaat bagi kehidupan ini sesungguhnya memang tidak layak untuk mendapatkan cinta, dari siapapun. Bila daya manfaat dan keberartian merupakan labuhan cinta, maka sumber dan mata air keberartian itu ada pada kekuatan kejujuran, dalam pengertiannya yang sangat luas. Sebabnya adalah, kejujuran itu akan memberi kita kekuatan untuk selalu meniti jalan hidup ini sesuai arah dan alurnya. Sebab disanalah kekuatan untuk memberi manfaat itu menemukan mata airnya.

Pada wilayah kebersamaan dengan orang lain, kejujuran adalah garansi yang menjamin tertunaikannya hak orang lain dari diri kita, dalam bentuk apa saja. Maka seorang pemimpin yang jujur dan kepemimpinannya memberikan manfaat bagi rakyatnya, pasti dicintai oleh rakyatnya. Seorang pegawai yang jujur dan berdaya manfaat akan dicintai oleh orang-orang yang diurusnya. Begitulah seterusnya. Seperti dijelaskan oleh Rasulullah,”Sebaik-baik pemimpin kalian, adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian. Yang kalian doakan dan merekapun mendoakan kalian.” Pada setiap jengkal wilayah sosial kita, selalu ada tempat untuk bertanya tentang itu: layakkah kita untuk dicintai? Seperti bila kita adalah seorang suami. Ada banyak karunia pada status itu. Tapi bukan karena status itu semata kita layak dicintai. Tapi pada apa yang kita ciptakan dengan status itu, pada kejujuran kesuamian kita. Ketulusan untuk berkorban, berupa manfaat untuk orang-orang yang ada di rumah kita: anak-anak, istri, atau keluarga lainnya. Begitupun menjadi istri juga status. Pada fungsi dan daya manfaatnya status itu menjadi landasan kelayakan untuk dicintai.

Maka sebuah tragedy tentang seorang pangeran Inggris, misalnya, adalah sekelumit kisah tentang rumitnya cinta yang berlabuh pada tempat yang tidak layak. Sang pangeran adalah pewaris kerajaan. Mendiang istrinya pun cantik rupawan. Tetapi nyaris tidak ada kejujuran di sana. Kejujuran yang hilang telah mengubah pencarian cinta menjadi hanya setumpuk petualangan selera dan hawa nafsu.

Sebaliknya lihatlah anak-anak kecil di sekitar kita. Polos dan lugu. Tidak berdosa. Kejujuran mereka benar-benar sempurna. Maka anak-anak selalu layak dicintai. Dengan sepenuh hati. Dan kenyataannya memang begitu. Orangtua bahkan rela untuk berkorban apa saja bagi buah hati mereka. Sebab anak-anak itu selalu memancarkan ketulusan. Tak ada dusta, tak ada khianat, apalagi dengki dan hasad. Anak-anak adalah kejujuran itu sendiri. Itulah mengapa Al-Qur’an menamai mereka dengan “qurrota a’yun”, yang indah dipandang mata. Sebab sejujurnya di sana ada ketulusan yang tak berbicara dengan kata-kata. Di sana ada kejernihan yang memantulkan cahaya.

Tetapi karunia iman memberi kekuatan lain pada makna kelayakan itu. Di sini keberartian menjadi sempurna. Beriman, berdaya guna, taat dan kemudian memberi manfaat untuk kehidupan sesame. Maka sebaik-baik orang mukmin adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Tak ada yang bisa melakukan sesuatu yang sangat istimewa melebihi apa yang bisa dilakukan oleh kekuatan iman. Karenanya kelayakan dicintai pada dimensi yang paling mendalam adalah kemampuan seorang manusia untuk bisa mengerti apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang hamba yang diciptakan Allah di muka bumi ini. yang kelak akan mati, lalu dimintai pertanggung jawaban. Maka ia akan memburu cinta-Nya, agar layak dicintai. Pada perburuan cinta itu lantas berhamburan amal-amal dan kebaikannya, untuk orang-orang disekitarnya. Maka profesi dan status tak kuasa membendung aliran kebaikan-kebaikan itu. Sebab profesi dan status hanya lorong-lorong tempat orang-orang yang layak dicintai itu mengalirkan kebaikannya.

Bertanyalah kita. Hari ini. Sejenak saja. Tentang hiruk pikuk pergulatan hidup yang kita jalani. Tentang rumah tangga yang berbilang tahun kita arungi. Di jenak-jenak lelah dan bosan yang meghantui. Atau tentang kerja-kerja duniawi yang menguras akal budi. Disela oleh mimpi dan keinginan memiliki bertumpuk rezeki. Atau tentang perburuan jabatan yang berlumur kertidakadilan. Atau tentang belajar di meja-meja buku yang tak kunjung usai. Ditingkahi malas dan lambaian jalan menyimpang yang merajuk merayu. Adakah semua itu mengantarkan kita menjadi orang yang layak dicintai?

(diambil dari “Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda” karya Ahmad Zairofi AM)


Tanggapan

  1. Arah tujuan hidup kita mdah”n dapat kita temukan ,amiin

  2. suka….suka…suka….

  3. Ketika kita mencintai apa yang Alloh cintai dan membenci apa yang Alloh benci. Bukankah sama halnya itu tandanya kita belajar mengejar cinta Alloh juga 🙂


Tinggalkan komentar

Kategori